Saya baru saja membaca draft RUU Cipta Kerja seperti yang ternyata telah diposting oleh CNBC Indonesia sejak 17 Februari 2020 di sini: cdn.cnbcindonesia.com/cnbc/ruu-tenta….
Yang menarik secara pribadi buat saya dari isi UU Cipta Kerja (mungkin karena kerjaan sehari-hari melakukan pengelolaan investasi negara), apabila tidak berubah dari draft RUU tersebut adalah soal pendirian Lembaga Pengelolaan Investasi (LPI). Di media selalu disebut sebagai Sovereign Wealth Fund (SWF), yang walaupun positif karena menjadi catchy tapi menjadi kontraproduktif karena beberapa pihak malah terkesan sibuk membahas aspek semantik dari SWF. Kalau menurut Adams (2019), itu mungkin yang disebut word-thinking.
Penyebutan LPI sebagai SWF mencetuskan beberapa kritik tentang kepatutan Indonesia mendirikan SWF yg dinilai telat & kurang tepat. Terutama kalau mengacu model SWF tradisional yang melakukan investasi hasil penerimaan negara, surplus dari sumber daya alam (SDA) untuk tujuan stabilisasi budget atau inter-generation. Padahal model SWF itu sendiri tidak tunggal, ada beragam sesuai kepentingan negara bersangkutan. Yang pasti penamaan SWF berlaku untuk setiap lembaga yang mengelola dana negara. Dan menurut survei (Preqin, 2018) beberapa tahun belakangan jenis dan tujuan serta bisnis model SWF pun mulai bergeser.
Kalau melihat semangat UU Ciptaker untuk meningkatkan investasi dan penguatan perekonomian untuk mendukung kebijakan strategis penciptaan kerja, maka sepertinya LPI ini akan menjadi SWF dengan tujuan yang condong kepada mendapatkan pendanaan, alih-alih menginvestasikan dana hasil SDA seperti model Norway ataupun Timor Leste. Menurut SWF Institute (2011) model seperti itu disebut strategic development sovereign wealth fund (SDSWF). Atau SWF yang ditujukan bagi mendukung ekonomi dan pembangunan nasional melalui investasi pada entitas dan industri domestik. Dampak akhir tentu pada penciptaan lowongan kerja, strategic knowledge transfer sekaligus menyediakan tempat bagi talenta Indonesia untuk bekerja di industri maju ataupun aliansi dengan negara maupun SWF negara lain untuk investasi spesifik.
Saat ini contoh SDSWF yang sudah terbukti berjalan baik adalah Russian Direct Investment Fund (RDIF). Model RDIF ini mirip private equity, berinvestasi dengan investor lain (co-investment). Keuntungan untuk investor dengan berinvestasi melalui “kendaraan” seperti LPI ini diantaranya jelas adalah kemudahan. Jadi FDI nantinya dilakukan tidak sendiri-sendiri seperti cara tradisional, namun “dipandu” oleh LPI dgn “menu”. Keuntungan lain, investor dapat meminimalisir agency problem karena LPI juga turut serta berinvestasi, kepentingan terselaraskan (incentives aligned).
Kalau nanti seperti itu model yang digunakan, walau tentunya tidak 100% orisinil, ide LPI ini menurut pendapat saya merupakan terobosan kreatif yang dapat memboost FDI secara signifikan. Cuma memang peraturan pelaksana, aspek legal dalam vehicle, trust pada pelaksanaan operasional, tata kelola dan sebagainya untuk co-investment akan cukup tricky. Tapi penilaian pribadi saya sih pengelolaan SWF dengan model RDIF ini bukan hanya sangat feasible, tapi potensi suksesnya juga besar.
Mudah-mudahan dapat segera terwujud.