Rusuh SVB

Apa yg terjadi pada Silicon Valley Bank? Bagaimana penutupan bank terbesar sejak krisis 2008 tersebut dapat memberikan pelajaran bagi anda, investor individu?

Apa yg terjadi pada Silicon Valley Bank?

Sebelum kita membahas SVB yang di minggu lalu ditutup oleh regulator di Amerika Serikat, ada baiknya melihat bagaimana suatu bank dikelola untuk mendapatkan keuntungan bagi pemiliknya. Ya benar, bank umumnya merupakan entitas korporasi yang bertujuan untuk menghasilkan keuntungan (for profit entities).

Bisnis model dari bank bisa diringkas jadi rule of 3-6-3:

Berikan bunga 3% untuk tabungan,

Bebankan bunga 6% untuk pinjaman,

Jam 3 main golf. 

Tapi tentu saja itu becandaan bagi para bankers yang hidup di tahun 50an hingga 70an. Ketika semua masih sangat sederhana. Namun itulah prinsip dari bank: borrow short, lend long. Penghasilan karenanya bank merupakan selisih yang diberikan sebagai bunga tabungan dan penerimaan yang diterima dari pembayaran pinjaman.

Selama hasil dari pinjaman lebih tinggi dari yg harus diberikan ke deposan, maka semua happy. Contoh di atas 6%-3% = 3%. Tugas bank memastikan bahwa yang meminjam dengan bunga 6% akan melunasi, beserta mitigasinya apabila harapan akan penerimaan bunga sebesar 6% beserta pokok pinjaman berpotensi mengalami perubahan.

Dikatakan borrow short karena umumnya jangka waktu tabungan, deposito adalah pendek. Sementara dikatakan lend long karena jangka waktu pinjaman panjang.Dengan situasi di atas, artinya selama kurva imbal hasil untuk suku bunga berada dalam situasi normal, dimana suku bunga jangka pendek lebih rendah dari suku bunga jangka panjang, semuanya akan baik-baik saja. Istilah teknisnya kurva imbal hasil atau yield curve positif, atau upward sloping yield curve.

Dalam hal ini, suku bunga jangka pendek (tabungan) sebesar 3%, dan jangka panjang (pinjaman) sebesar 6%.

Tabungan karena merupakan milik deposan adalah kewajiban atau liabilities bank. Sementara pinjaman ke debitur adalah milik bank, karenanya merupakan asset dari bank.

Karena yang ada di kedua sisi: A(sset) dan L(iabilities) dipengaruhi oleh pergerakan suku bunga, serta modal (E) adalah A kurang L, maka bank harus mengelola risiko antara lain yang berasal dari suku bunga, yaitu interest rate risk. Tentunya agar modal bank aman.

Hubungan antara Modal (E), Aset (A) dan Liabilities (L) dapat disajikan seperti persamaan di bawah ini:

Risiko (fluktuasi) modal bank (DE) dipengaruhi oleh:

  • Leverage (A/E),
  • Sensitivitas A, dalam ukuran durasi A = DA,
  • Sensitivitas L, dalam ukuran durasi L = DL, serta
  • Korelasi atau sensitivitas antara suku bunga A & suku bunga L, atau (Δi/Δy).

Sementara itu ukuran sensitivitas menggunakan durasi (modified duration) seperti halnya pengukuran risiko instrumen atau aset yang berbasis suku bunga: semakin panjang durasi maka semakin sensitif perubahan nilai atau harga karena perubahan suku bunga.

Jadi apabila suku bunga diperkirakan akan naik, sementara perubahan harga berbanding terbalik dengan suku bunga, maka sebaiknya durasi semakin pendek.

Begitu pula sebaliknya. Apabila suku bunga diperkirakan akan turun dan semakin panjang durasi maka semakin besar dampak perubahan nilai maka kita menginginkan durasi dari aset kita untuk semakin panjang.

Rule of thumb:

Suku bunga akan naik -> nilai akan turun.

Harus kurang  sensitif -> durasi dipendekkan.

Suku bunga akan turun -> nilai akan naik.

Harus  lebih sensitif -> durasi dipanjangkan.

Hal itu berlaku di kedua sisi A dan L. Dan hal itu harus dikelola sedemikian rupa agar E aman.

Risk management 101.

Kalau perilaku antara A dan L tidak sesuai atau tidak dikelola dengan baik, maka yg terjadi adalah situasi yang disebut sebagai Asset-Liabilities Mismatch. Dan walaupun sepertinya mengingat prinsip dasar bisnis bank terjadinya situasi mismatch di suatu bank kok seperti ‘kesalahan pemula‘ tapi sepertinya itulah yang terjadi di SVB.

Kok bisa?

Pertama di sisi L, deposan SVB sangat terkonsentrasi kepada satu sektor: perusahaan-perusahaan startup. Tidak cukup terdiversifikasi.

Dengan risiko dana pihak ketiga (DPK) yang terkonsentrasi di satu sektor maka apa yang terjadi di sektor itu akan mempengaruhi sisi L. Kalau nasabah menarik dana, bank harus menyediakan. Kalau semua atau sebagian besar nasabah yang berperilaku sama menarik dana, maka bank bisa berada dalam masalah yang besar. Itulah pentingnya untuk mendiversifikasi sumber dana pihak ketiga, sehingga peluang penarikan secara masif dapat dihindari atau dimitigasi.

Tahun 2019 di saat para startup companies mendapatkan banjir pendanaan, banjir pula penempatan dana ke SVB (sisi L). Sebagaimana rule 3-6-3 di atas, dana itu harusnya kemudian disalurkan menjadi pinjaman (sisi A), dan tentu saja dibarengi dengan pengelolaan risiko suku bunga. Sehingga bisa matching atau mendekati matching antara A dan L.

Kemudian di tahun 2020 saat suku bunga sedang berada di titik terendah sebagai bagian dari kebijakan Fed dalam rangka stimulus COVID, seharusnya hal tersebut memberikan easy profit.

Tapi SVB tidak menyalurkan menjadi pinjaman, tapi malah menempatkan di obligasi pemerintah AS atau US Treasury dengan suku bunga fixed rate jangka panjang. 

Karena merupakan instrumen pemerintah maka aman tentunya. Dari sisi risiko kredit. Dengan yield curve normal seperti garis merah pada chart di bawah, maka tindakan itu tentu saja memberikan keuntungan. Dana dengan biaya bunga lebih rendah ditempatkan pada aset dengan bunga lebih tinggi.

Namun apa yang dilakukan SVB lebih mirip Borrow Short, Invest Long.

Tapi yang kita tahu kemudian terjadi, Fed merespons  ekspektasi inflasi pasca COVID dengan menaikkan Fed Fund Rate. Bunga jangka pendek meningkat lebih dari jangka panjang. Yang kemudian terjadi adalah Inverted Yield Curve sebagaimana pada garis biru pada chart di bawah. Walau inverted, namun suku bunga di seluruh tenor pada tahun 2022 mengalami kenaikan dibandingkan tahun 2020.

Sebagaimana kita tahu pada hubungan antara suku bunga dan nilai, ketika suku bunga naik maka harga obligasi dengan kupon fixed rate akan turun. Dan itulah yang terjadi pada aset SVB di sisi A yang berupa US Treasury dengan suku bunga fixed rate. Karena mayoritas obligasi tersebut berjangka panjang maka durasinya pun tentu panjang dan karenanya lebih sensitif terhadap kenaikan suku bunga.

Sementara itu ketika suku bunga jangka pendek naik maka bank pun harus memberikan imbal hasil yang meningkat kepada deposan, maka pendanaan pun menjadi mahal. Yang tadinya selisih positif antara penerimaan dari bunga jangka panjang dikurangi pengeluaran dari bunga jangka pendek, bisa jadi sejalan dengan yield curve yang inverted malah menjadi negatif.

Di saat yang sama banyak startup mengalami kesulitan pendanaan sehingga kemudian terjadi penarikan oleh deposan yang mayoritas berasal dari sektor yang sama: startup.

Ketika terjadi penarikan yang semakin masif dibarengi herd behavior para deposan, yg nota bene startup companies, maka pengurangan di sisi L harus dipenuhi padahal di sisi A aset-aset yang ditempatkan di US Treasury dengan suku bunga fixed rate jangka panjang mostly sudah “under water” alias dalam posisi unrealised loss. Akhirnya untuk memperbaiki struktur modal, maka obligasi di A dijual dengan rugi alias cut loss sebesar 1,8 milyar USD. Dibarengi dengan menarik pendanaan dengan issue saham.

Well, di waktu yang salah, dan komunikasi yang (mungkin) buruk terutama soal cut loss.

Di saat yg buruk. Jual rugi ⇨ signal buruk ⇨ deposan tarik dana ⇨ coba raise capital ⇨signal buruk ⇨ deposan menarik lebih banyak dana.

Yang terjadi kemudian adalah negative feedback loop. Man-made disaster.

A classic bank run. Seperti di film It’s A Wonderful Life (1946), yang saat ini ada di @NetflixID. Penyebabnya classic A-L mismatch. Dari pengelolaan risiko yg buruk. Diversifikasi yang buruk.

Pelajaran bagi investor Individual

Kemudian apa yang bisa dipetik dari kasus SVB untuk investor individual?

Harus memiliki pengelolaan likuiditas yg baik. Berupa cash, dana darurat yg cukup yang dapat ditarik sewaktu-waktu.

Kita tidak pernah tahu situasi buruk yang akan terjadi. Sehingga tidak perlu menjual aset (yang diperuntukkan bagi tujuan jangka panjang) di saat yg tidak tepat.

Fluktuasi itu sendiri bukan risiko. Risiko adalah peluang terjadinya permanent loss of capital.

Fluktuasi yang terjadi pada aset jangka panjang yang menyebabkan posisi under water atau unrealised loss bukanlah risiko besar terutama apabila sudah sesuai ekspektasi. Yang menjadi masalah adalah apabila likuiditas terganggu karena mismanage kemudian aset tersebut harus dijual.

Dijual maka unrealised loss menjelma menjadi realised loss. Permanent loss of capital.


Quote of the week

Pelajaran di atas juga sesuai seperti apa yang dikatakan Warren Buffett dalam laporan tahunan Berkshire Hathaway tahun 2023:

Investors should “avoid behavior that could result in any uncomfortable cash needs at inconvenient times, including financial panics.”

Continue Reading

Tertinggal Pesta?

Indeks harga saham gabungan di Bursa Efek Indonesia per Jumat hari ini 15 Oktober 2021 ditutup di angka 6.633.34. Acuan utama bursa saham tersebut sedikit lagi mencapai angka tertinggi sepanjang masa apabila mampu melampaui titik 6.660,62, angka tertinggi yang pernah dicapai pada 26 Januari 2018.

Penutupan di Jumat tersebut menandakan kenaikan sebesar lebih dari 2.400 poin atau 58% dari lembah keterpurukan pada 20 Maret 2020 di awal pandemi COVID-19. Sebagaimana bursa lain di dunia pada saat itu, IHSG ikut longsor sebesar -37% apabila dibandingkan titik tertinggi atau -33% jika dihitung sejak awal tahun 2020.

Tidak, saya tidak ingin membahas angka dan statistik pasar modal. Saya cuma membangun konteks atas kabar baik yang saya pribadi yakini merupakan bagian dari sinyal pemulihan ekonomi dari dampak pandemi. Namun, walau hal tersebut merupakan berita menggembirakan tapi tentu tetap ada sekumpulan orang yang tidak sempat menikmati hal ini. Tertinggal pesta.

Paling tidak ada tiga kelompok.

Kelompok pertama tentu mereka yang tidak tertarik akan saham sebagai kelas aset. Dengan alasan apa saja. Yang umum karena tidak familiar dan takut akan risiko. Untuk mereka, tentu tidak ada penyesalan.

Sementara kelompok kedua adalah mereka yang mengerti akan keunggulan saham dalam alokasi aset investasi serta memilih untuk berinvestasi melalui reksa dana saham.

Loh, kalau beli reksa dana saham seharusnya ikut menikmati kenaikan dong, begitu mungkin pertanyaan di benak anda. Bagi mereka ini ada dua kemungkinan.

Pertama reksa dana saham yang mereka miliki dikelola secara aktif untuk mengungguli IHSG sebagai benchmark atau indeks. Strategi paling alami untuk lebih baik dari indeks tentu saja dengan berperilaku berbeda. Paling tidak memiliki alokasi saham yang berbeda dibandingkan indeks yang diacu.

Kalau sama saja maka return akan sama kan?

Tentu walau keinginan untuk lebih unggul dari IHSG, ada peluang hasil malah lebih buruk ketika alokasi yang berbeda tersebut kinerjanya lebih rendah dari IHSG. Bisa benar, bisa juga salah.

Penyebab kedua, walau secara umum reksa dana yang dimiliki berkorelasi tinggi dengan IHSG, tapi kinerja jeblok karena digerus oleh biaya. Seperti kita tahu percuma hasil tinggi kalau dikurangi dengan beban yang lebih besar. Secara net-net tentu menjadi rendah.

Kelompok ketiga yang mungkin luput dari pesta kinerja IHSG yang moncer saat ini adalah yang berinvestasi pada saham namun melakukannya melalui pembelian saham individual, baik untuk investasi maupun trading. Itu tentu satu pilihan rasional, yang di saat ini sepertinya juga atraktif karena bisa ikutan pamer screenshoot di medsos. Penyebabnya tentu karena kinerja saham yang dimiliki entah tidak seia sekata atau berperilaku berbeda dibanding IHSG.

Jadi mana yang lebih baik?

Hemat saya yang paling baik sejatinya adalah cara yang mampu membuat anda konsisten berinvestasi. Bukan mana yang paling optimal, ataupun malah yang paling maksimal memberikan return.

Yang mampu membuat konsisten stay invested di segala cuaca.

Cara yang baik tentu investasi dengan risiko yang terukur dan biaya terjaga untuk mencapai tujuan investasi. Karena percuma segala risiko dimitigasi kalau risiko terbesar tetap terjadi yaitu tujuan investasi tidak tercapai. Karena hal-hal yang tidak tidak perlu.

Untuk mencapai tujuan investasi melalui aset saham, pengelolaan risiko, menjadi penting. Sebagaimana dijelaskan di awal, fluktuasi harga saham secara umum seperti diwakili oleh IHSG dapat membuat ketakutan mereka yang tidak siap dan lari di saat yang tidak tepat. Kemudian kapok dan berhenti berinvestasi.

Karena walaupun paham penurunan -33% atau -37% yang terjadi di pasar, karena hindsight setelah kejadian sepertinya biasa saja. Namun saat mengalami di situasi yang riil, banyak yang kemudian ketakutan.

Melihat statistik naik turun harga historis dan mengalaminya sendiri merupakan dua hal yang sangat berbeda. Apalagi kalau ada faktor-faktor lain yang mengikuti. Kebutuhan uang sekolah anak, cicilan rumah, tagihan kesehatan maupun desakan darurat lain.

Dan itu sangat potensi terjadi pada dua kelompok terakhir, walaupun dalam hati paham akan perilaku saham. Yang menggunakan kendaraan reksa dana, lebih lagi yang membeli saham individual. Kalau reksa dana yang umumnya terdiversifikasi penurunan bisa lebih dari IHSG, maka risiko saham individual bisa lebih parah lagi, di atas 50-an%. Maret 2020 kemarin telah mengajarkan banyak investor tentang fakta tersebut.

Bagi beberapa orang pelajaran tersebut pahit dan membuat kapok, keluar dari saham. Namun sayangnya untuk beberapa yang lain pelajaran tersebut akan cepat terlupakan seiring waktu untuk kembali mencoba peruntungan untuk mengungguli pasar.

Ini persis seperti yang dikatakan Mike Tyson di atas, semua orang memiliki rencana namun semuanya akan buyar, terpaku, beku ketika mendapat pukulan telak di mulut. Karena itu sekali lagi, penting untuk mengendalikan risiko agar investor tidak terdesak di saat yang salah dan kemudian melakukan hal-hal yang dapat merugikan pencapaian tujuan keuangan. Tertinggal pesta.

Buat mereka yang memiliki aspirasi untuk mencapai tujuan keuangan dengan kelas aset saham, mungkin dapat mengikuti panduan umum berikut:

  1. Tentukan prioritas tujuan keuangan anda: Apakah harus dicapai, needs, pengennya tercapai, wants, enak kali ya kalo bisa dicapai, wishes, dan terakhir kalo ga terlaksana juga ga apa-apa sih, dreams.
  2. Tentukan horison investasi anda: kurang dari 1 tahun, kurang dari 3 tahun, 5 tahun, dan di atas 5 tahun, serta lebih panjang dari 10 tahun.
  3. Hitung nominal yang ingin dicapai. Sesuaikan dengan potensi kenaikan harga setiap tahun. Namun perlu diingat belum tentu sama dengan tingkat inflasi, tergantung yang ingin dicapai. Kenaikan biaya pendidikan tentu akan tinggi, bisa 15-20% per tahun. Sesuaikan.
  4. Gunakan kelas aset saham saja hanya untuk tujuan dengan prioritas wants, wishes dan dreams. Dengan horison investasi di atas 10 tahun.
  5. Untuk horison antara 5-10 tahun, diversifikasi dengan kelas aset lain, pasar uang dan pendapatan tetap, untuk meminimalisir downside risk.
  6. Kalau bisa, gunakan kendaraan reksa dana dan hindari membeli saham individual, terutama kalau anda masih kategori pemula dan memiliki likuiditas yang pas-pasan.
  7. Untuk reksa dana, teliti expense ratio dari RD yang anda incar, selain pertimbangan AUM dan kinerja. Expense ratio bisa menjadi indikator yang baik untuk kinerja ke depan.
  8. Pertimbangkan melakukan Dollar Cost Averaging (DCA), beli secara rutin di waktu yang sama. Setiap akhir bulan, misalnya. Walau terdapat potensi kurang optimal dibandingkan lump sum atau sekaligus, namun DCA dapat membantu secara psikologis untuk mengurangi regret atau penyesalan yang dapat mengganggu proses investasi anda. Selain itu DCA juga cocok bagi mereka yang memiliki pendapatan tetap bulanan.
  9. Sejalan dengan waktu, sesuaikan. Rebalance. Jadi kalau yang tadinya tujuan jangka waktu 10 tahun, apabila jangka waktunya tetap tentu setahun berlalu kemudian menjadi 9 tahun. Sesuaikan alokasi. Rebalancing juga merupakan cara yang baik dalam menerapkan strategi buy low, sell high.

Jadi, kelompok yang manakah anda?

Disclaimer sebagaimana page about author di blog ini.

Continue Reading

Kendaraan Itu Bernama SWF

Photo by Will Truettner on Unsplash

Saya baru saja membaca draft RUU Cipta Kerja seperti yang ternyata telah diposting oleh CNBC Indonesia sejak 17 Februari 2020 di sini: cdn.cnbcindonesia.com/cnbc/ruu-tenta….

Yang menarik secara pribadi buat saya dari isi UU Cipta Kerja (mungkin karena kerjaan sehari-hari melakukan pengelolaan investasi negara), apabila tidak berubah dari draft RUU tersebut adalah soal pendirian Lembaga Pengelolaan Investasi (LPI). Di media selalu disebut sebagai Sovereign Wealth Fund (SWF), yang walaupun positif karena menjadi catchy tapi menjadi kontraproduktif karena beberapa pihak malah terkesan sibuk membahas aspek semantik dari SWF. Kalau menurut Adams (2019), itu mungkin yang disebut word-thinking.

Penyebutan LPI sebagai SWF mencetuskan beberapa kritik tentang kepatutan Indonesia mendirikan SWF yg dinilai telat & kurang tepat. Terutama kalau mengacu model SWF tradisional yang melakukan investasi hasil penerimaan negara, surplus dari sumber daya alam (SDA) untuk tujuan stabilisasi budget atau inter-generation. Padahal model SWF itu sendiri tidak tunggal, ada beragam sesuai kepentingan negara bersangkutan. Yang pasti penamaan SWF berlaku untuk setiap lembaga yang mengelola dana negara. Dan menurut survei (Preqin, 2018) beberapa tahun belakangan jenis dan tujuan serta bisnis model SWF pun mulai bergeser.

Kalau melihat semangat UU Ciptaker untuk meningkatkan investasi dan penguatan perekonomian untuk mendukung kebijakan strategis penciptaan kerja, maka sepertinya LPI ini akan menjadi SWF dengan tujuan yang condong kepada mendapatkan pendanaan, alih-alih menginvestasikan dana hasil SDA seperti model Norway ataupun Timor Leste. Menurut SWF Institute (2011) model seperti itu disebut strategic development sovereign wealth fund (SDSWF). Atau SWF yang ditujukan bagi mendukung ekonomi dan pembangunan nasional melalui investasi pada entitas dan industri domestik. Dampak akhir tentu pada penciptaan lowongan kerja, strategic knowledge transfer sekaligus menyediakan tempat bagi talenta Indonesia untuk bekerja di industri maju ataupun aliansi dengan negara maupun SWF negara lain untuk investasi spesifik.

Saat ini contoh SDSWF yang sudah terbukti berjalan baik adalah Russian Direct Investment Fund (RDIF). Model RDIF ini mirip private equity, berinvestasi dengan investor lain (co-investment). Keuntungan untuk investor dengan berinvestasi melalui “kendaraan” seperti LPI ini diantaranya jelas adalah kemudahan. Jadi FDI nantinya dilakukan tidak sendiri-sendiri seperti cara tradisional, namun “dipandu” oleh LPI dgn “menu”. Keuntungan lain, investor dapat meminimalisir agency problem karena LPI juga turut serta berinvestasi, kepentingan terselaraskan (incentives aligned).

Kalau nanti seperti itu model yang digunakan, walau tentunya tidak 100% orisinil, ide LPI ini menurut pendapat saya merupakan terobosan kreatif yang dapat memboost FDI secara signifikan. Cuma memang peraturan pelaksana, aspek legal dalam vehicle, trust pada pelaksanaan operasional, tata kelola dan sebagainya untuk co-investment akan cukup tricky. Tapi penilaian pribadi saya sih pengelolaan SWF dengan model RDIF ini bukan hanya sangat feasible, tapi potensi suksesnya juga besar.

Mudah-mudahan dapat segera terwujud.

Continue Reading

Investasi harus punya Tujuan

Sharing BI Talk episode 2 di YouTube bareng Oom Ijun, premiered di awal tahun ini.

That was fun!

Sekarang jamannya anak milenial tau tips investasi yang tepat, biar ngga kaya judul lagunya Khalid “Young, Dumb & Broke”. Setuju ngga? Jika ya, ketik “👍” di kolom komentar ya #SobatRupiah! Pengen masa depanmu lebih cuan, nonton BI Talk episode 2 bersama Tigor Siagian (Deputi Direktur Departemen Pengelolaan Devisa Bank Indonesia) sampe habis yah! #diSetiapMaknaIndonesia #SobatRupiah #BITalk #diSetiapMaknaIndonesia

Continue Reading

Kalau Bisa Mahal Kenapa Harus Murah?

Photo by William Iven on Unsplash

“Belajar Investasi Reksa Dana: Rp. 10.500.000. Rp. 3.500.000”

“Memulai Investasi Untuk Pemula Melalui Teknik Valuasi Fundamental”

“Kursus Dasar Investasi Bagi Pegawai Melalui Timing Menggunakan Analisis Teknikal”

Begitu kira-kira isi dan bahasa iklan, pengumuman atau jualan dengan berbagai variasinya yang umum ditemui dalam beberapa tahun terakhir. Belakangan ini di tengah pandemi COVID-19 sepertinya terasa lebih gencar dipasarkan.

Iklan-iklan dengan pesan yang selalu membuat saya miris.

Dalam bukunya yang terkenal dan laris mengenai psikologi persuasi berjudul “Influence”, Robert Cialdini menceritakan tentang kejadian perilaku turis di suatu tempat wisata yang berebutan dan memborong habis barang-barang tertentu di suatu toko souvenir. Yang menarik penyebabnya bukan diskon sebagaimana normalnya perilaku pembelian, namun karena pengumuman pada papan iklan di depan toko bahwa seluruh barang di rak tertentu harganya naik menjadi dua kali lipat dari harga aslinya. Lucunya pengumuman tersebut ternyata hasil kesalahan komunikasi antara pemilik toko dan pegawainya. Niat awal si pemilik toko sebenarnya ingin mendiskon setengah harga barang-barang tertentu yang setelah sekian lama sepertinya sulit terjual, dan mungkin dengan diskon barang-barang tersebut dapat segera menjadi cash. Namun karena terjadi salah komunikasi maka yang terjadi alih-alih ditulis diskon ½ harga malah menjadi iklan kenaikan harga 2x lipat. Yang mengejutkan barang-barang tersebut malah laris terjual.

Menurut Cialdini fenomena tersebut akibat penggunaan prinsip heuristik oleh turis-turis tersebut pada saat berbelanja di toko souvenir. Pengetahuan turis yang terbatas mengenai kriteria kualitas barang, terlebih di daerah yang baru, kemudian membuat turis-turis tersebut menggunakan asosiasi tertentu dalam keputusan pembelian. Asosiasi yang digunakan tentunya bahwa sesuatu yang mahal maka kualitasnya bagus. Dan sebaliknya apabila harganya murah, maka barang tersebut berkualitas rendah. Pemikiran heuristik tersebut kemudian memicu para turis untuk berperilaku memborong barang yang lebih mahal tersebut dengan asosiasi harga yang mahal pertanda akan barang berkualitas.

Heuristik, yang juga disebut “jalan pintas mental” atau mental shortcuts adalah proses efisiensi mental yang digunakan untuk membantu manusia memecahkan masalah, mempelajari konsep-konsep baru dan terlebih dalam mengambil keputusan. Karena manusia harus membuat keputusan dengan waktu, sumber daya mental dan informasi yang terbatas maka penggunaan jalan pintas mental dilakukan untuk menghemat waktu dan usaha. Dengan heuristik, otak bisa membuat keputusan lebih cepat dan lebih efisien, walaupun tentunya bisa berakibat pada pengambilan keputusan yang kurang tepat.

Cara berpikir dengan menggunakan model jalan pintas seperti itu juga sangat umum ditemui pada pelaku pasar keuangan, baik dalam menilai suatu produk, jasa maupun ketika melakukan keputusan investasi. Psikolog Amos Tversky dan Daniel Kahneman (1974) yang juga merupakan pionir behavioral finance menunjukkan bahwa manusia bergantung pada seperangkat cara heuristik ketika membuat keputusan investasi dengan bekal informasi yang tidak terlalu diyakini kebenarannya.

Penggunaannya yang luas di bidang investasi dapat dimaklumi terutama mengingat masih banyak masyarakat yang awam mengenai pasar keuangan berikut produk-produknya. Penggunaan mental shortcuts dalam bentuk asosiasi seperti mahal setara dengan bagus, usaha yang besar setara dengan hasil yang bagus sering ditemui saat masyarakat  melakukan aktivitas investasi. Indikator yang digunakan bermacam-macam, seperti fee pengelolaan dana yang tinggi, ataupun teknik, metode serta analisis yang harus njlimet dan terlihat canggih sebagai prasyarat untuk mendapatkan hasil pengelolaan yang baik.

Makanya kemudian tidak mengherankan banyak masyarakat awam saat ingin belajar berinvestasi kemudian menemui atau disodori dengan opsi penempatan pada manajer investasi yang memungut biaya relatif mahal.  Atau apabila lebih berminat melakukan secara mandiri kemudian didorong untuk lebih dulu mempelajari berbagai teknik analisis fundamental, teknikal dengan segala variasi dan istilah yang rumit, seperti contoh-contoh iklan di bagian awal tulisan ini. Seolah hasil investasi yang baik hanya bisa didapatkan melalui metode dan cara tersebut. Walaupun teori serta bukti empiris berulang menemukan dan membuktikan bahwa langkah dan prinsip dalam berinvestasi itu sederhana: dilakukan sejak dini, dilakukan secara rutin, memastikan diversifikasi, menekan biaya serendah mungkin dan sabar selama berinvestasi. Sementara itu melakukan timing, trading dengan segala teknik rumit di atas bukan hanya kemungkinan besar tidak manjur tapi juga merupakan “sekolah” yang sepertinya kemahalan.

Continue Reading

Strategi Low Hanging Fruit untuk Kebebasan Finansial!

Di masa pandemi ini, kembali menulis blog setelah bertahun-tahun absen adalah salah satu niatan yang ingin dilakukan. So, supaya tidak berlama-lama saya memposting draft tulisan saya di majalah internal. Di bulan kemerdekaan ini,  saya coba mengajak kita untuk melihat kembali apa saja sih strategi mudah ala rebahan di jaman pandemi yang berguna untuk mencapai kemerdekaan finansial pribadi.

Kalau ada pelajaran yang bisa dipetik dari kasus J&J, Jouska dan Jiwasraya bukan Johnson & Johnson adalah keduanya terkait kepada pemenuhan nafsu mengejar return. Yang pertama karena potensi imbalan (puluhan %) kalau untung, dan yang kedua karena keburu menjual produk dengan janji return tidak realistis.

Mendengar ini mungkin sebagian dari kita meringis atau mencibir, tapi sejatinya hal yang sama sering ditempuh individual, makanya juga ga heran banyak yang terpedaya janji investasi bodong. Padahal menggapai tujuan kadang tidak perlu rumit, karena cara-cara mudah banyak tersedia. Kalau analogi pertanian disebut low hanging fruits, buah yang untuk memanennya tidak memerlukan usaha ekstra. Apa sih mereka itu?

Enjoy!

<span>Photo by <a href="https://unsplash.com/@grantritchie?utm_source=unsplash&utm_medium=referral&utm_content=creditCopyText">Grant Ritchie</a> on <a href="https://unsplash.com/s/photos/freedom?utm_source=unsplash&utm_medium=referral&utm_content=creditCopyText">Unsplash</a></span>

Akhirnya kita memasuki bulan Agustus, bulan yang penting bagi kita dimana bangsa Indonesia memperingati kemerdekaan.  Setengah tahun telah berjalan dalam masa pandemi yang menggoyang hampir seluruh aspek kehidupan kita. Tapi mari kita bicara soal kemerdekaan yg lain: kemerdekaan finansial yang bahkan generasi paling muda saat ini pun terlihat fasih mengucapkan walau kadang hanya sebatas keinginan melalui postingan media sosial. Yang pasti kita tahu setiap kemerdekaan seharusnya membebaskan dan setiap kemerdekaan tidak pernah mudah apalagi didapatkan cuma-cuma. Namun untung, mencapai kemerdekaan finansial sepertinya bisa jauh lebih mudah dibandingkan memperjuangkan kemerdekaan bangsa ini 75 tahun lalu.

Kemerdekaan finansial yang diimpikan di masa depan diciptakan sejak dini, sejak hari ini. Dengan pengorbanan ajakan berhemat yang walau tidak cantik sebagai bahan konten namun pastinya unsur yang paling penting. Kalau compounding dapat dikategorikan sebagai keajaiban dunia ke-8, maka sejatinya pun dibarengi oleh kesabaran yang karena itu layak menjadi keajaiban dunia ke-9.

Secara kebetulan di akhir Juli kemarin dunia perencana keuangan di Republik ini gonjang-ganjing, karena darling media sosial mereka dengan inisial J sepertinya mendapatkan masalah. Terdapat beberapa dugaan namun dari informasi yang viral di media online diduga melakukan pengelolaan dana nasabah tanpa ijin Otoritas. Parahnya dilakukan pada saham ditengarai “gorengan” serta mendapatkan bagi hasil dari keuntungan. Menyebabkan langsung dibredel oleh Satgas Waspada Investasi. Beberapa waktu sebelumnya kita ingat ada institusi lain, juga dengan inisial J, yang berupa perusahaan asuransi plat merah pun diduga melakukan tindak pidana melalui penempatan aset pada portfolio berbasis saham-saham “gorengan”.

Kemudian apa pelajaran yang dapat diambil dari kasus J&J, yang bukan merek rumah tangga ini terkait keinginan kita mencapai Kemerdekaan Finansial di masa depan? Yang pertama tentu adalah berangus gejolak nafsu untuk mengejar return dan mulai berhemat serta bersabar. Kenapa? Dalam kasus si perencana keuangan return dikejar untuk mendapatkan bagian dari hasil pengelolaan. Sementara bagi si asuransi mengejar return demi kinerja dari produk yang sudah keburu dipasarkan dengan iming-iming hasil tinggi. Keduanya, kita tahu, berakhir boncos.

Mengapa harus fokus kepada berhemat (living below your means) agar dapat meningkatkan saving rate? Pertama-tama karena perubahan perilaku untuk lebih hemat sesungguhnya berada dalam kendali kita. Alphamaupun market return berada di luar kendali kita karena market dalam jangka pendek memiliki perilaku dan tabiatnya sendiri yang terkadang liar dan sulit diterka. Masa pandemi ini sesungguhnya telah membuktikan pentingnya buffer, tabungan, likuiditas yang terbukti memberikan optionality: kemampuan menjadi lebih resilience.

Saving rate, investment rate serta horizon investasi merupakan tiga sekawan yang penting dan saling terkait untuk mencapai tujuan-tujuan keuangan. Jangka waktu yang panjang, sedini mungkin, merupakan suatu keniscayaan saat ini ketika penurunan return menjadi fenomena global. Namun dari ketiganya yang paling penting adalah saving rate: seberapa besar anda menyisihkan uang, berhemat. Bukti empiris pun mengatakan demikian. Kenaikan saving rate  sebesar 5% misalnya, mampu memberikan hasil yang minimal sama besar dibandingkan usaha mengejar return dengan meningkatkan risiko dalam persentase yang sama.

Kalau demikian kenapa strategi yang terkesan “free lunch” ini sepertinya tidak populer?  Dapat dimengerti karena nasihat berhemat dan bersabar terdengar terlalu mudah, tidak fancy, tidak njlimet dan canggih serta tentunya tidak estetik untuk jadi bahan konten instastory. Tentu banyak hal dapat diselesaikan dengan solusi yang sederhana namun mindset kita sudah keburu terbentuk atas relasi hasil yang besar harus seiring dengan usaha yang berat. Padahal di masa pandemi kita berkaca bahwa melakukan hal-hal penting dapat dilakukan sebatas melalui tindakan sederhana selayaknya menjadi “superhero” menyelamatkan dunia cukup dengan stay home dan rebahan semata.

Gimana, masih ragu?

Continue Reading