Di masa pandemi ini, kembali menulis blog setelah bertahun-tahun absen adalah salah satu niatan yang ingin dilakukan. So, supaya tidak berlama-lama saya memposting draft tulisan saya di majalah internal. Di bulan kemerdekaan ini, saya coba mengajak kita untuk melihat kembali apa saja sih strategi mudah ala rebahan di jaman pandemi yang berguna untuk mencapai kemerdekaan finansial pribadi.
Kalau ada pelajaran yang bisa dipetik dari kasus J&J, Jouska dan Jiwasraya bukan Johnson & Johnson adalah keduanya terkait kepada pemenuhan nafsu mengejar return. Yang pertama karena potensi imbalan (puluhan %) kalau untung, dan yang kedua karena keburu menjual produk dengan janji return tidak realistis.
Mendengar ini mungkin sebagian dari kita meringis atau mencibir, tapi sejatinya hal yang sama sering ditempuh individual, makanya juga ga heran banyak yang terpedaya janji investasi bodong. Padahal menggapai tujuan kadang tidak perlu rumit, karena cara-cara mudah banyak tersedia. Kalau analogi pertanian disebut low hanging fruits, buah yang untuk memanennya tidak memerlukan usaha ekstra. Apa sih mereka itu?
Enjoy!
Akhirnya kita memasuki bulan Agustus, bulan yang penting bagi kita dimana bangsa Indonesia memperingati kemerdekaan. Setengah tahun telah berjalan dalam masa pandemi yang menggoyang hampir seluruh aspek kehidupan kita. Tapi mari kita bicara soal kemerdekaan yg lain: kemerdekaan finansial yang bahkan generasi paling muda saat ini pun terlihat fasih mengucapkan walau kadang hanya sebatas keinginan melalui postingan media sosial. Yang pasti kita tahu setiap kemerdekaan seharusnya membebaskan dan setiap kemerdekaan tidak pernah mudah apalagi didapatkan cuma-cuma. Namun untung, mencapai kemerdekaan finansial sepertinya bisa jauh lebih mudah dibandingkan memperjuangkan kemerdekaan bangsa ini 75 tahun lalu.
Kemerdekaan finansial yang diimpikan di masa depan diciptakan sejak dini, sejak hari ini. Dengan pengorbanan ajakan berhemat yang walau tidak cantik sebagai bahan konten namun pastinya unsur yang paling penting. Kalau compounding dapat dikategorikan sebagai keajaiban dunia ke-8, maka sejatinya pun dibarengi oleh kesabaran yang karena itu layak menjadi keajaiban dunia ke-9.
Secara kebetulan di akhir Juli kemarin dunia perencana keuangan di Republik ini gonjang-ganjing, karena darling media sosial mereka dengan inisial J sepertinya mendapatkan masalah. Terdapat beberapa dugaan namun dari informasi yang viral di media online diduga melakukan pengelolaan dana nasabah tanpa ijin Otoritas. Parahnya dilakukan pada saham ditengarai “gorengan” serta mendapatkan bagi hasil dari keuntungan. Menyebabkan langsung dibredel oleh Satgas Waspada Investasi. Beberapa waktu sebelumnya kita ingat ada institusi lain, juga dengan inisial J, yang berupa perusahaan asuransi plat merah pun diduga melakukan tindak pidana melalui penempatan aset pada portfolio berbasis saham-saham “gorengan”.
Kemudian apa pelajaran yang dapat diambil dari kasus J&J, yang bukan merek rumah tangga ini terkait keinginan kita mencapai Kemerdekaan Finansial di masa depan? Yang pertama tentu adalah berangus gejolak nafsu untuk mengejar return dan mulai berhemat serta bersabar. Kenapa? Dalam kasus si perencana keuangan return dikejar untuk mendapatkan bagian dari hasil pengelolaan. Sementara bagi si asuransi mengejar return demi kinerja dari produk yang sudah keburu dipasarkan dengan iming-iming hasil tinggi. Keduanya, kita tahu, berakhir boncos.
Mengapa harus fokus kepada berhemat (living below your means) agar dapat meningkatkan saving rate? Pertama-tama karena perubahan perilaku untuk lebih hemat sesungguhnya berada dalam kendali kita. Alpha, maupun market return berada di luar kendali kita karena market dalam jangka pendek memiliki perilaku dan tabiatnya sendiri yang terkadang liar dan sulit diterka. Masa pandemi ini sesungguhnya telah membuktikan pentingnya buffer, tabungan, likuiditas yang terbukti memberikan optionality: kemampuan menjadi lebih resilience.
Saving rate, investment rate serta horizon investasi merupakan tiga sekawan yang penting dan saling terkait untuk mencapai tujuan-tujuan keuangan. Jangka waktu yang panjang, sedini mungkin, merupakan suatu keniscayaan saat ini ketika penurunan return menjadi fenomena global. Namun dari ketiganya yang paling penting adalah saving rate: seberapa besar anda menyisihkan uang, berhemat. Bukti empiris pun mengatakan demikian. Kenaikan saving rate sebesar 5% misalnya, mampu memberikan hasil yang minimal sama besar dibandingkan usaha mengejar return dengan meningkatkan risiko dalam persentase yang sama.
Kalau demikian kenapa strategi yang terkesan “free lunch” ini sepertinya tidak populer? Dapat dimengerti karena nasihat berhemat dan bersabar terdengar terlalu mudah, tidak fancy, tidak njlimet dan canggih serta tentunya tidak estetik untuk jadi bahan konten instastory. Tentu banyak hal dapat diselesaikan dengan solusi yang sederhana namun mindset kita sudah keburu terbentuk atas relasi hasil yang besar harus seiring dengan usaha yang berat. Padahal di masa pandemi kita berkaca bahwa melakukan hal-hal penting dapat dilakukan sebatas melalui tindakan sederhana selayaknya menjadi “superhero” menyelamatkan dunia cukup dengan stay home dan rebahan semata.
Gimana, masih ragu?
2 Comments
Pak Tigor,
Gak sabar pengen baca tulisan berikutnya.
Terimakasih sudah bersedia berbagi ilmunya.
Sama-sama.Terima kasih telah mengunjungi dan membaca blog ini.