Kalau Bisa Mahal Kenapa Harus Murah?

Photo by William Iven on Unsplash

“Belajar Investasi Reksa Dana: Rp. 10.500.000. Rp. 3.500.000”

“Memulai Investasi Untuk Pemula Melalui Teknik Valuasi Fundamental”

“Kursus Dasar Investasi Bagi Pegawai Melalui Timing Menggunakan Analisis Teknikal”

Begitu kira-kira isi dan bahasa iklan, pengumuman atau jualan dengan berbagai variasinya yang umum ditemui dalam beberapa tahun terakhir. Belakangan ini di tengah pandemi COVID-19 sepertinya terasa lebih gencar dipasarkan.

Iklan-iklan dengan pesan yang selalu membuat saya miris.

Dalam bukunya yang terkenal dan laris mengenai psikologi persuasi berjudul “Influence”, Robert Cialdini menceritakan tentang kejadian perilaku turis di suatu tempat wisata yang berebutan dan memborong habis barang-barang tertentu di suatu toko souvenir. Yang menarik penyebabnya bukan diskon sebagaimana normalnya perilaku pembelian, namun karena pengumuman pada papan iklan di depan toko bahwa seluruh barang di rak tertentu harganya naik menjadi dua kali lipat dari harga aslinya. Lucunya pengumuman tersebut ternyata hasil kesalahan komunikasi antara pemilik toko dan pegawainya. Niat awal si pemilik toko sebenarnya ingin mendiskon setengah harga barang-barang tertentu yang setelah sekian lama sepertinya sulit terjual, dan mungkin dengan diskon barang-barang tersebut dapat segera menjadi cash. Namun karena terjadi salah komunikasi maka yang terjadi alih-alih ditulis diskon ½ harga malah menjadi iklan kenaikan harga 2x lipat. Yang mengejutkan barang-barang tersebut malah laris terjual.

Menurut Cialdini fenomena tersebut akibat penggunaan prinsip heuristik oleh turis-turis tersebut pada saat berbelanja di toko souvenir. Pengetahuan turis yang terbatas mengenai kriteria kualitas barang, terlebih di daerah yang baru, kemudian membuat turis-turis tersebut menggunakan asosiasi tertentu dalam keputusan pembelian. Asosiasi yang digunakan tentunya bahwa sesuatu yang mahal maka kualitasnya bagus. Dan sebaliknya apabila harganya murah, maka barang tersebut berkualitas rendah. Pemikiran heuristik tersebut kemudian memicu para turis untuk berperilaku memborong barang yang lebih mahal tersebut dengan asosiasi harga yang mahal pertanda akan barang berkualitas.

Heuristik, yang juga disebut “jalan pintas mental” atau mental shortcuts adalah proses efisiensi mental yang digunakan untuk membantu manusia memecahkan masalah, mempelajari konsep-konsep baru dan terlebih dalam mengambil keputusan. Karena manusia harus membuat keputusan dengan waktu, sumber daya mental dan informasi yang terbatas maka penggunaan jalan pintas mental dilakukan untuk menghemat waktu dan usaha. Dengan heuristik, otak bisa membuat keputusan lebih cepat dan lebih efisien, walaupun tentunya bisa berakibat pada pengambilan keputusan yang kurang tepat.

Cara berpikir dengan menggunakan model jalan pintas seperti itu juga sangat umum ditemui pada pelaku pasar keuangan, baik dalam menilai suatu produk, jasa maupun ketika melakukan keputusan investasi. Psikolog Amos Tversky dan Daniel Kahneman (1974) yang juga merupakan pionir behavioral finance menunjukkan bahwa manusia bergantung pada seperangkat cara heuristik ketika membuat keputusan investasi dengan bekal informasi yang tidak terlalu diyakini kebenarannya.

Penggunaannya yang luas di bidang investasi dapat dimaklumi terutama mengingat masih banyak masyarakat yang awam mengenai pasar keuangan berikut produk-produknya. Penggunaan mental shortcuts dalam bentuk asosiasi seperti mahal setara dengan bagus, usaha yang besar setara dengan hasil yang bagus sering ditemui saat masyarakat  melakukan aktivitas investasi. Indikator yang digunakan bermacam-macam, seperti fee pengelolaan dana yang tinggi, ataupun teknik, metode serta analisis yang harus njlimet dan terlihat canggih sebagai prasyarat untuk mendapatkan hasil pengelolaan yang baik.

Makanya kemudian tidak mengherankan banyak masyarakat awam saat ingin belajar berinvestasi kemudian menemui atau disodori dengan opsi penempatan pada manajer investasi yang memungut biaya relatif mahal.  Atau apabila lebih berminat melakukan secara mandiri kemudian didorong untuk lebih dulu mempelajari berbagai teknik analisis fundamental, teknikal dengan segala variasi dan istilah yang rumit, seperti contoh-contoh iklan di bagian awal tulisan ini. Seolah hasil investasi yang baik hanya bisa didapatkan melalui metode dan cara tersebut. Walaupun teori serta bukti empiris berulang menemukan dan membuktikan bahwa langkah dan prinsip dalam berinvestasi itu sederhana: dilakukan sejak dini, dilakukan secara rutin, memastikan diversifikasi, menekan biaya serendah mungkin dan sabar selama berinvestasi. Sementara itu melakukan timing, trading dengan segala teknik rumit di atas bukan hanya kemungkinan besar tidak manjur tapi juga merupakan “sekolah” yang sepertinya kemahalan.

You may also like

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *